Ads
Sabtu, 26 Januari 2019
- Januari 26, 2019
- WCD
- Ashhamah bin Jabar, kisah, Raja Najasyi
- No comments
Kisah Raja Najasyi (Ashhamah bin Jabar)
Najasyi bisa dikatakan tabi’in, bisa juga dikatakan sebagai sahabat. Hubungannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlangsung melalui surat-menyurat. Ketika beliau wafat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat gaib untuknya, shalat yang belum pernah beliau lakukan sebelumnya.
Dialah Ashhamah bin Abjar yang dikenal dengan sebutan “An-Najasyi“. Marilah, pada kesempatan yang penuh berkah ini, sejenak kita telusuri kehidupan seorang tokoh besar kaum muslimin ini.
Ayah Ashamah adalah raja negeri Habasyah, dan dia tidak memiliki anak melainkan beliau. Kondisi ini dipandang kurang baik untuk masa depan negeri itu. Sebagian tokoh Habasyah saling berbisik, “Raja kita hanya memiliki seorang putra. Dia hanya menyusahkan. Dia akan mewarisi takhta bila raja wafat dan mengantar kita ke arah kebinasaan. Lebih baik, kita bunuh Sang Raja dan kita angkat saudaranya menjadi raja baru. Dia memiliki 12 putra yang membelanya semasa hidup dan menjadi pewarisnya bila meninggal.”
Dengan gencar, setan membisik dan memprovokasi mereka hingga mereka membunuh raja dan mengangkat saudaranya untuk menggantikannya.
Kini, Ashamah diasuh oleh pamannya. Dia tumbuh menjadi pemuda yang cerdas, penuh semangat, ahli berargumen, dan berkepribadian luhur. Ia menjadi andalan pamannya dan diutamakan, lebih daripada anak-anaknya sendiri.
Namun, setan kembali memprovokasi para pembesar Habasyah. Mereka kembali berembuk. Di antara mereka berkata, “Kita khawatirkan bila kerajaan ini jatuh ke tangan pemuda itu, pastilah dia akan membalas dendam atas kematian ayahandanya dahulu.”
Akhirnya, mereka menghadap raja dan berkata, “Tuanku, kami tidak bisa merasa aman dan tenteram bila Tuan belum membunuh Ashamah atau menyingkirkannya dari sini. Dia telah beranjak dewasa dan kami khawatir dia akan balas dendam.”
Mendengar permintaan tersebut, Raja sangat murka dan berkata, “Sejahat-jahat kaum adalah kalian! Dahulu kalian membunuh ayahnya dan sekarang kalian memintaku untuk membunuhnya pula. Demi Allah, aku tak akan melakukannya!”
Mereka berkata, “Kalau begitu kami akan mengasingkannya dari negeri ini.” Sang Raja tak berdaya menghadapi tekanan dan paksaan para pejabat yang jahat itu.
Tak lama setelah diusirnya Ashamah, tiba-tiba terjadi peristiwa di luar dugaan. Badai mengamuk disertai guntur dan hujan lebat. Sebatang pilar istana roboh menimpa Sang Raja yang sedang berduka akibat kepergian keponakannya. Beberapa waktu kemudian, dia wafat.
Rakyat Habasyah berunding untuk memilih raja baru. Mereka mengharapkan salah satu dari dua belas putra Raja, namun ternyata tak ada satu pun dari mereka yang layak menduduki takhta. Mereka menjadi cemas dan gelisah, terlebih setelah mendapati bahwa negeri-negeri tetangga menunggu kesempatan untuk menyerang. Kemudian, ada salah seorang di antara mereka berkata: “Demi Allah, tak ada yang patut menjadi pemimpin kalian kecuali pemuda yang kalian usir itu. Jika kalian memang peduli dengan negeri Habasyah, carilah dia dan pulangkanlah dia!”
Mereka pun bergegas mencari Ashamah dan membawanya pulang ke negerinya. Lalu, mereka meletakkan mahkota di atas kepalanya dan membai’atnya sebagai raja. Mereka memanggilnya dengan Najasyi. Dia memimpin negeri secara baik dan adil. Kini, Habasyah diliputi kebaikan dan keadilan setelah sebelumnya didominasi oleh kezaliman dan kejahatan.
Saat yang bersamaan dengan naiknya Najasyi menduduki takhta di Habasyah, di tempat lain, Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membawa agama yang penuh hidayah dan kebenaran, satu per satu assabiqunal-awwalun memeluk agama ini.
Kaum muslimin meminta suaka ke Raja Najasyi
Orang-orang Quraisy mulai mengganggu dan menganiaya mereka. Ketika Mekkah sudah terasa sesak bagi kaum muslimin karena gencarnya tekanan-tekanan musyrikin Quraisy, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di negeri Habasyah bertakhta seorang raja yang tidak suka berlaku zalim terhadap sesama. Pergilah kalian ke sana dan berlindunglah di dalam pemerintahannya, sampai Allah subhanahu wa ta’ala membukakan jalan keluar dan membebaskan kalian dari kesulitan ini.”
Maka, berangkatlah rombongan muhajirin pertama dalam Islam yang berjumlah 80 orang ke Habasyah. Di negeri baru itu, mereka mendapatkan ketenangan dan rasa aman, bebas menikmati manisnya takwa dan ibadah tanpa gangguan.
Akan tetapi, pihak Quraisy tidak tinggal diam setelah mengetahui bahwa kaum muslimin bisa hidup tenang di Habasyah. Mereka segera berunding menyusun makar untuk menghabisi kaum muhajirin atau menarik mereka kembali ke Mekkah.
Mereka mengirimkan dua orang utusannya kepada Najasyi di Habasyah. Keduanya orang pilihan dan pandai berdiplomasi, yaitu Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah. Mereka berangkat dengan membawa hadiah-hadiah dalam jumlah besar untuk Najasyi dan para pejabat tinggi Habasyah yang dikenal menyukai barang-barang dari Mekkah.
Sesampainya di Habasyah, keduanya terlebih dahulu menjumpai para pejabat sambil menyuap mereka dengan hadiah-hadiah yang dibawa. Keduanya berkata, “Di negeri Anda, telah tinggal sejumlah pengacau dari kota kami. Mereka keluar dari agama nenek moyang dan memecah belah persatuan kami. Maka, jika nanti kami menghadap Najasyi dan membicarakan masalah ini, kami mohon Anda semua mendukung kata-kata kami untuk menentang agama mereka, tanpa bertanya. Kami adalah kaum mereka. Kami lebih mengenal siapakah mereka dan mengharapkan agar kalian sudi menyerahkan mereka kepada kami.”
Setelah memilih saat yang tepat, Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah menghadap Najasyi. Mereka terlebih dahulu sujud menyembah seperti yang biasa dilakukan orang-orang Habsyi. Najasyi menyambut keduanya dengan baik karena sebelumnya dia telah mengenal Amru bin Ash. Kemudian, tokoh Quraisy itu memberikan hadiah-hadiah yang indah disertai titipan salam dari para pemuka Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan.
Raja Najasyi menghargai hadiah-hadiah pemberian mereka. Kemudian, Amru mulai bicara, “Tuan, telah tiba di negeri Anda beberapa orang pengacau dari kaum kami. Mereka telah keluar dari agama kami dan tidak pula menganut agama Anda. Mereka mengikuti agama baru yang kami tidak mengenalnya begitu pula Anda. Kami berdua diutus oleh pemimpin kaum kami untuk meminta agar Tuanku mengembalikan mereka kepada kaumnya, karena kaumnyalah yang lebih tahu akibat yang dimunculkan oleh agama yang baru itu, berupa fitnah dan kekacauan yang mereka timbulkan.”
Najasyi menoleh kepada para penasihat istana dan meminta pendapat mereka. Mereka berkata, “Benar, Tuanku. Kita tidak tahu tentang agama baru itu dan tentunya kaum mereka lebih paham akan hal itu daripada kita.”
Najasyi berkata, “Tidak, demi Allah! Aku tidak akan menyerahkan mereka kepada siapa pun sebelum mendengarkan keterangan mereka sendiri dan mencari tahu tentang kepercayaan mereka. Bila mereka dalam kejahatan maka aku tidak keberatan untuk menyerahkan mereka kepada kalian. Namun kalau mereka dalam kebenaran, aku akan melindungi dan memelihara mereka selama mereka ingin tinggal di negeri ini. Demi Allah, aku tidak akan melupakan karunia Allah subhanahu wa ta’ala kepada diriku yang telah mengembalikan aku ke negeri ini karena ulah orang-orang yang keji.”
Kaum muslimin yang hijrah itu pun dipanggil Najasyi ke istana. Mereka menjadi bertanya-tanya, lalu saling bertukar pikiran sebelum berangkat. Di antara mereka ada yang berkata, “Apa jawaban kita nanti jika ditanya tentang agama kita?”
Yang lain menjawab, “Kita katakan saja perkara yang difirmankan Allah dalam kitab-Nya dan kita jelaskan segala yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Rabb-nya.”
Berangkatlah mereka menuju istana. Di sana, mereka melihat Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah, sementara uskup-uskup Najasyi duduk berkeliling dengan pakaian kebesaran mereka dengan kitab-kitab yang terbuka di tangan. Kaum muslimin duduk di tempat yang telah disediakan setelah memberi salam secara Islam.
Amru bin Ash menoleh kepada mereka dan bertanya, “Mengapa kalian tidak sujud kepada Raja?” Mereka pun menjawab, “Kami tidak sujud kecuali kepada Allah subhanahu wa ta’ala.”
Najasyi menggeleng-gelengkan kepala karena kagum dengan jawaban itu. Dia memerhatikan mereka dengan pandangan simpati, lalu berkata, “Apa sebenarnya agama yang kalian anut? Kalian meninggalkan agama nenek moyang kalian dan tidak pula mengikuti agama kami.”
Setelah memohon izin, Ja’far menjawab, “Wahai Raja, sesungguhnya kami sama sekali tidak menciptakan agama baru. Akan tetapi, Muhammad bin Abdullah telah diutus oleh Rabb-nya untuk menyebarkan agama dan petunjuk yang benar serta mengeluarkan kami dari kegelapan menuju cahaya terang-benderang. Pada awalnya, kami adalah kaum yang hidup dalam kebodohan. Kami menyembah api, memutuskan hubungan keluarga, memakan bangkai, berlaku zalim, tidak menyayangi tetangga, dan yang kuat selalu menekan yang lemah. Dalam kondisi demikian, Allah subhanahu wa ta’ala mengutus rasul yang kami ketahui asal-usulnya, kami percayai kejujurannya, amanah, dan kesuciannya untuk menyeru kami kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mengajak kami melakukan ibadah dan mengesakan-Nya. Dia memerintahkan agar kami menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Ramadan dan meninggalkan penyembahan terhadap berhala dan batu-batu. Beliau memerintahkan kepada kami agar senantiasa jujur dalam berbicara, menunaikan amanah, menyambung persaudaraan, dan menghargai darah. Beliau melarang kami berzina, bersaksi palsu, dan memakan harta anak yatim. Maka kami beriman dan mengikuti risalahnya serta menjalankan petunjuk yang beliau bawa.
Sekarang, kami hanya beribadah kepada Allah saja –tiada sekutu bagi-Nya–, mengharamkan segala sesuatu yang diharamkan bagi kami dan menghalalkan segala sesuatu yang dihalalkan. Akan tetapi, kaum kami memusuhi dan menyiksa kami agar kami kembali kepada agama nenek moyang, agar kami kembali menyembah patung-patung berhala setelah menyembah Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka berlaku zalim dan menghalangi kami menjalankan agama, sehingga kami lari kemari untuk mencari tempat berlindung. Kami memilih negeri Anda dengan harapan tidak mendapatkan perlakuan yang zhalim di sini.”
Najasyi bertanya kepada Ja’far bin Abi Thalib, “Apakah kalian membawa sesuatu yang dibawa oleh Nabi itu tentang Rabb-nya?” Beliau menjawab, “Ya, ada.” Najasyi berkata, “Tolong bacakan untuk kami”
Najasyi bertanya kepada Ja’far bin Abi Thalib, “Apakah kalian membawa sesuatu yang dibawa oleh Nabi itu tentang Rabb-nya?” Beliau menjawab, “Ya, ada.” Najasyi berkata, “Tolong bacakan untuk kami”
Lalu Ja’far membacakan surat Maryam,
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ مَرْيَمَ إِذِ انتَبَذَتْ مِنْ أَهْلِهَا مَكَاناً شَرْقِيّاً. فَاتَّخَذَتْ مِن دُونِهِمْ حِجَاباً فَأَرْسَلْنَا إِلَيْهَا رُوحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَراً سَوِيّاً. قَالَتْ إِنِّي أَعُوذُ بِالرَّحْمَن مِنكَ إِن كُنتَ تَقِيّاً. قَالَ إِنَّمَا أَنَا رَسُولُ رَبِّكِ لِأَهَبَ لَكِ غُلَاماً زَكِيّاً. قَالَتْ أَنَّى يَكُونُ لِي غُلَامٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ وَلَمْ أَكُ بَغِيّاً. قَالَ كَذَلِكِ قَالَ رَبُّكِ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ وَلِنَجْعَلَهُ آيَةً لِلنَّاسِ وَرَحْمَةً مِّنَّا وَكَانَ أَمْراً مَّقْضِيّاً. فَحَمَلَتْهُ فَانتَبَذَتْ بِهِ مَكَاناً قَصِيّاً. فَأَجَاءهَا الْمَخَاضُ إِلَى جِذْعِ النَّخْلَةِ قَالَتْ يَا لَيْتَنِي مِتُّ قَبْلَ هَذَا وَكُنتُ نَسْياً مَّنسِيّاً. فَنَادَاهَا مِن تَحْتِهَا أَلَّا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيّاً
“Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Alquran, yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur, maka ia mengadakan tabir (yang) melindunginya dari mereka; lalu Kami mengutus ruh Kami kepadanya maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna. Maryam berkata, ‘Sesungguhnya aku berlindung kepada Rabb yang Maha Pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa.’ Ia (Jibril) berkata, ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Rabb-mu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.’ Maryam berkata, ‘Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusia pun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina?’ Jibril berkata, ‘Demikianlah. Rabb-mu berfirman, ‘Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan.” Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma; ia berkata, ‘Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan.’ Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah, ‘Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Rabb-mu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.'” (Q.s. Maryam:16–24)
Tampaklah, Najasyi menangis terharu mendengarnya, demikian pula uskup-uskup yang hadir di situ hingga kitab-kitab mereka basah oleh tetesan air mata.
Najasyi berkata kepada utusan Quraisy tersebut, “Apa yang mereka bacakan kepada kami dan apa yang dibawa oleh Isa ‘alaihissalam berasal dari sumber yang sama. Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan mereka sama sekali kepada kalian selama aku masih hidup.” Kemudian dia bangkit dari singgasana dan pertemuan itu pun dibubarkan.
Keluarlah Amru bin Ash dengan gusar. Ia berkata kepada kawannya, “Demi Allah, Aku akan menghadap Najasyi lagi besok. Akan aku katakan sesuatu yang bisa membangkitkan amarahnya sampai ke dasar hatinya sehingga dia menghabisi mereka.”
Abdullah bin Abi Rabi’ah yang lebih lunak sikapnya berusaha mencegah, “Janganlah engkau melakukannya, wahai Amru! Bagaimana pun, mereka masih sanak famili kita meskipun berbeda paham dengan kita.”
Namun, Amru berkata, “Demi Allah, aku akan katakan bahwa mereka telah menyebutkan sesuatu yang buruk tentang Isa bin Maryam, mereka menyembunyikan sesuatu, mereka telah menuduh Isa, dan mengatakan bahwa Isa hanyalah seorang hamba.”
Sesuai yang direncakan, esok harinya Amru bin Ash menghadap kepada Najasyi dan berkata, “Tuanku, kemarin mereka telah menguraikan sesuatu tetapi menyembunyikan banyak hal lainnya. Mereka juga mengatakan bahwa Isa adalah hamba.”
Kaum muslimin kembali dipanggil ke istana. Mereka ditanya, “Apa yang kalian katakan tentang Isa bin Maryam?”
Ja’far menjawab, “Kami mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Najasyi berkata, “Bagaimana kata-katanya?”
Ja’far menjawab, “Beliau berkata bahwa Isa adalah hamba dan utusan Allah. Dia merupakan kalimatullah yang diletakkan pada diri Maryam, seorang perawan suci.”
Najasyi berkata, “Demi Allah, tidak ada pendapat kalian yang salah tentang Isa ‘alaihis salam seujung rambut pun.“
Terdengar bisikan-bisikan para uskup yang terkesan mengingkarinya. Najasyi memandang mereka dengan tajam lalu berkata tegas, “Aku tidak peduli dengan apa yang kalian bisikkan!” Beliau berkata kepada Ja’far dan kawan-kawannya, “Kalian boleh tinggal dengan aman di negeriku. Barang siapa berani menganggu kalian, akan aku tindak dengan tegas. Aku tidak sudi disuap dengan segunung emas untuk menganggu seorang pun di antara kalian.”
Beliau perintahkan kepada pengawalnya, “Kembalikan hadiah-hadiah dari Amru bin Ash dan kawannya itu! Aku tidak membutuhkannya. Allah tidak menerima suap dariku ketika aku dikembalikan ke negeriku. Untuk apa aku menerima suap dari mereka ini?”
Hampir saja terjadi pertumpahan darah dengan keputusan najasyi
Negeri Habasyah bergolak. Para uskup yang tidak puas dengan keputusan itu menyebarkan isu bahwa Najasyi telah meninggalkan agamanya dan mengikuti agama baru. Mereka juga menghasut rakyat agar menggulingkan rajanya. Beberapa lama, rakyat Habasyah diguncang oleh dilema besar tersebut. Bahkan beberapa orang ingin membatalkan bai’atnya kepada Najasyi.
Melihat hal itu, Najasyi mengabarkan situasi negeri kepada Ja’far bin Abi Thalib dan menyerahkan dua buah kapal. Setelah siap menghadapi para pembangkang, dikatakannya kepada kaum muslimin, “Naiklah kalian ke kapal itu, amati perkembangannya. Bila aku kalah, pergilah ke mana kalian suka. Akan tetapi, kalau aku menang, kalian boleh kembali dalam perlindungan seperti semula.”
Selanjutnya, Najasyi mengambil sehelai kulit kijang dan menuliskan di atasnya, “Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya yang terakhir. Aku juga bersaksi bahwa Isa adalah hamba-Nya dan utusan-Nya, ruh-Nya, dan kalimat-Nya yang ditiupkan kepada Maryam.” Dipakainya tulisan itu di dada, kemudian dia mengenakan pakaian perangnya dan pergi bersama para prajuritnya.
Berdirilah Najasyi menghadapi para penentang-penentangnya. Dia berkata, “Wahai rakyat Habasyah, katakanlah, bagaimana perlakuanku terhadap kalian?” Mereka menjawab, “Sangat baik, Tuanku.” Najasyi berkata, “Lalu mengapa kalian menentangku?”
Mereka berkata, “Karena Anda telah keluar dari agama kita dan mengatakan bahwa Isa adalah seorang hamba.” Najasyi berkata, “Bagaimana menurut kalian sendiri?” Mereka menjawab, “Dia adalah putra Allah.”
Maka Najasyi mengeluarkan tulisan yang dipakainya di dada diletakkan di atas meja dan berkata: “Aku bersaksi bahwa Isa bin Maryam tidaklah lebih dari yang tertulis di sini.” Di luar dugaan, ternyata rakyat menerima dengan senang pernyataan Najasyi. Mereka membubarkan diri dengan lega.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin percaya kepada Najasyi. Penghargaan Najasyi terhadap Muhajirin yang datang ke negerinya dan membuat mereka aman dalam perlindungannya, menggembirakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apalagi setelah mendengar kecondongannya kepada Islam dan keyakinannya akan kebenaran Alquran. Hubungan Najasyi dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin erat.
Memasuki tahun baru 7 Hijriah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkehendak untuk berdakwah kepada enam orang pemimpin negeri tetangga agar mau masuk agama Islam. Beliau menulis untuk mengingatkan mereka akan iman serta menasihatkan tentang bahaya syirik dan kekufuran. Maka beliau menyiapkan enam orang sahabat.
Terlebih dahulu, mereka mempelajari bahasa kaum yang hendak didatangi agar dapat menyelesaikan tugas dengan sempurna. Setelah siap, keenam shahabat tersebut berangkat pada hari yang sama. Di antara mereka ada Amru bin Umayah Adh-Dhamari yang diutus kepada Najasyi di negeri Habasyah.
Sampailah Amru bin Umayah Adh-Dhamari di hadapan Najasyi. Dia memberi salam secara Islam dan Najasyi menjawabnya dengan lebih indah serta menyambutnya dengan baik.
Setelah dipersilakan duduk di majelis Habasyah, Amru bin Umayah memberikan surat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Najasyi dan langsung dibacanya. Di dalamnya tertulis ajakan kepada Islam, disertai beberapa ayat Alquran. Najasyi menempelkan surat itu di kepala dan matanya dengan penuh hormat. Setelah itu, dia turun dari singgasana dan menyatakan keislamannya di depan hadirin. Selesai mengucapkan syahadat, dia berkata, “Kalau saja aku mampu untuk mendatangi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam niscaya aku akan duduk di hadapan beliau dan membasuh kedua kakinya.” Kemudian beliau menulis surat jawaban pendek kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berisi pernyataan menerima dakwahnya dan keimanan atas kenabiannya.
Selanjutnya, Amru bin Umayah menyodorkan surat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kedua. Dalam surat itu Rasulullah minta agar Najasyi bertindak sebagai wakil untuk pernikahan beliau dengan Ramlah binti Abu Sufyan yang termasuk rombongan Muhajirin ke Habasyah.
Sepintas tentang Ummu Habibah
Sedangkan Ramlah –yang biasa dipanggil Ummu Habibah itu– memiliki lika-liku hidup yang berakhir dengan kebahagiaan. Meski sepintas, marilah kita simak perjalanannya.
Ramlah binti Abu Sufyan adalah salah satu penentang kepercayaan ayahnya, Sang Pemuka Quraisy itu. Dia menyatakan keimanannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya bersama suaminya, Ubaidullah bin Jahsy. Oleh karena itu, pasangan suami-istri ini termasuk yang mendapat gangguan dari orang-orang Quraisy.
Keduanya ikut dalam rombongan Muhajirin yang berlindung kepada Najasyi di Habasyah, demi mempertahankan dinullah. Seperti yang telah disaksikan, para Muhajirin itu mendapat pelayanan yang baik dan jaminan keamanan dari Najasyi sehingga terbayang dalam angan Ummu Habibah bahwa semua deritanya akan segera berlalu. Dia tidak tahu perihal sesuatu yang disembunyikan takdir untuknya.
Allah subhanahu wa ta’ala berkehendak menguji Ummu Habibah dengan ujian berat yang mampu mengguncang akal. Tidak disangka, Ubaidullah bin Jahsy menjadi murtad. Dia masuk agama Nasrani dan berbalik memusuhi Islam serta kaum muslimin. Pekerjaannya hanya duduk-duduk di tempat maksiat dan menjadi pemabuk berat. Bahkan, dia memberikan tawaran kepada Ummu Habibah, ikut agama Masehi seperti dirinya atau diceraikan.
Di hadapan Ummu Habibah, ada tiga pilihan yang sulit. Pertama, mengikuti suami dan menjadi seorang Nasrani, yang dengan demikian, dia akan dikutuk dunia dan akhirat. Kedua, kembali kepada ayahnya di Mekkah yang masih hidup dalam kemusyrikan. Ketiga, tetap di Habasyah, seorang diri dalam pengasingan bersama putrinya, Habibah.
Akhirnya, beliau mengutamakan ridha Allah subhanahu wa ta’ala di atas segala masalah dan bertekad tetap tinggal di Habasyah bersama Muhajirin lainnya sampai Allah subhanahu wa ta’ala menunjukkan jalan keluar.
Tak berselang lama, beliau merasakan duka cita, suaminya mati dalam keadaan mabuk. Setelah masa iddah-nya habis, datanglah pertolongan Allah untuknya.
Pagi itu amat cerah, saat terdengar suara ketukan di pintu rumah Ummu Habibah. Ketika dibuka, seorang wanita utusan Najasyi memberi salam dan berkata, “Tuanku Najasyi mengirimkan salamnya untuk Anda dan berpesan bahwa Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meminang Anda. Baginda Najasyi ditunjuk sebagai wakil untuk akad nikah. Maka bila Anda menerima pinangan itu, bersiaplah segera menunjuk pihak yang menjadi wali Anda.”
Betapa tidak terukur kebahagiaan Ummu Habibah. Beliau berkata kepada utusan tersebut, “Semoga Anda mendapatkan kebagiaan dari Allah, semoga Anda mendapatkan kebahagiaan dari Allah.” Kemudian Ummu Habibah berkata, “Aku menunjuk Khalid bin Sa’id bin Ash sebagai waliku karena dialah kerabatku yang terdekat di negeri ini.”
Begitulah, hari itu, istana Najasyi tampak semarak. Seluruh sahabat yang ada di Habasyah hadir untuk menyaksikan pernikahan Ummu Habibah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah segalanya siap, Najasyi mengucapkan tahmid dan berkata, “Amma ba’du, saya penuhi permintaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menikah dengan Ramlah binti Abu Sufyan. Saya berikan mahar sebagai wakil Rasulullah berupa empat ratus dinar emas berdasarkan sunnatullah dan sunah Rasul-Nya.”
Khalid bin Sa’id bin Ash sebagai wali Ummu Habibah berkata, “Saya terima permintaan Rasulullah dan saya nikahkan Ramlah binti Abu Sufyan yang memberi saya perwakilan dengan Rasulullah. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberkahi Rasul dan istrinya. “Selamat untuk Ramlah atas anugerah yang agung tersebut.”
Kerinduan ‘tuk berjumpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Kemudian, Najasyi mempersiapkan dua buah kapal untuk mengantarkan Ummul Mukminin Ramlah binti Abi Sufyan dan putrinya, Habibah, beserta sisa-sisa kaum muslimin yang ada di Habasyah. Sejumlah rakyat Habasyah yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya turut bersama mereka. Mereka rindu untuk berjumpa langsung dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shalat di belakang beliau. Rombongan tersebut dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib.
Najasyi juga memberikan hadiah-hadiah kepada Ummu Habibah berupa wewangian mahal milik istri-istrinya, juga beberapa bingkisan untuk Rasulullah, di antaranya ada tiga batang tongkat Habasyah yang terbuat dari kayu-kayu pilihan. Di kemudian hari, satu tongkat itu dipakai oleh beliau sendiri, dan yang lain dihadiahkan kepada Umar bin Khathab dan Ali bin Abi Thalib. Bilal selalu membawanya bila berjalan di muka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tongkat tersebut juga biasa didirikan di hadapan Nabi (sebagai sutrah) ketika ditegakkan shalat. Yakni tatkala tempat-tempat yang tidak ada masjid atau bangunan lainnya atau di dalam perjalanan, dalam shalat-shalat id dan shalat istisqa.
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, Bilal yang memegang tongkat itu. Lalu pada zaman Umar bin Khathab dan Utsman bin Affan, tongkat tersebut beralih ke tangan Sa’ad Al-Qarazhi. Begitu seterusnya, berganti setiap pergantian khalifah.
Ada juga hadiah perhiasan-perhiasan, di antaranya ada cincin emas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerimanya tetapi tidak dipakai sendiri melainkan diberikan kepada Umamah, cucu dari putri beliau, Zainab, “Pakailah ini, wahai cucuku.”
Tidak berselang lama sebelum Fathu Makkah, Najasyi wafat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil para sahabat untuk melakukan shalat ghaib. Padahal, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam belum pernah shalat ghaib sebelum kematian Najasyi dan tidak pula setelahnya. Semoga Allah meridhai Najasyi dan menjadikan surga-Nya yang kekal sebagai tempat kembalinya. Sungguh, dia telah menguatkan kaum muslimin di saat mereka lemah, memberikan rasa aman di saat mereka ketakutan dan dia melakukan hal itu semata-mata karena mencari ridha Allah ta’ala.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar