Ads
Sabtu, 26 Januari 2019
- Januari 26, 2019
- WCD
- Ja’far bin Abi Thalib, kisah
- No comments
Kisah Ja’far bin Abi Thalib
Ada lima orang keturunan Abdi Manaf yang sangat mirip dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang tidak jeli, terkadang susah membedakannya. Di antara kelima orang tersebut ialah Ja’far bin Abi Thalib, saudara kandung Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Dialah Sayyidul Asy-Syuhada, pemimpin para mujahidin, Abu Abdillah anak paman Rasulullah bin Abdul Mutthalib bin Hasim bin Abdi Manaf Al-Quraisy.
Dia dikenal sebagai orang yang sangat lemah lembut, penuh kasih sayang, sopan santun, rendah hati dan sangat pemurah. Di samping itu, ia juga dikenal sangat pemberani, tidak mengenal rasa takut. Beliau diberi gelar sebagai orang yang memiliki dua sayap di surga dan bapak bagi si miskin. Masuk Islam berkat ajakan Abu Bakar Ash-Shiddiq, tepatnya sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumah Al Arqam.
Ketika orang Quraisy mendengar berita tentang masuk Islamnya, mulailah mereka membuat makar dan gangguan-gangguan dalam rangka melemahkan iman kaum muslimin. Mereka tidak ingin melihat kaum muslimin bisa tenang beribadah.
Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi izin untuk hijrah ke Habasyah, tanpa pikir panjang beliau bersama istrinya ikut serta dalam rombongan tersebut. Sungguh hal ini sangat berat bagi Ja’far, karena harus meninggalkan tempat kelahirannya yang ia cintai. Biar pun demikian, berangkatlah rombongan itu yang terdiri dari 83 laki-laki dan 19 wanita menuju Habasyah.
Penguasa Habasyah adalah Najasyi. Seorang raja yang terkenal adil dan bijaksana, serta suka melindungi orang-orang yang lemah. Sesampainya di Habasyah, mereka mendapatkan perlindungan dari Najasyi, sehingga bisa leluasa dan lebih tenang dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi, ketenangan ini terusik. Yaitu tatkala orang-orang Quraisy mengetahui perlindungan keamanan yang kami dapatkan di Habasyah.
Ummu Salamah menceritakan:
Ketika orang-orang Quraisy mengetahui keadaan kami di Habasyah, mereka tidak ridha dan mengirimkan dua utusan untuk menemui Najasyi. Mereka adalah Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah, serta membawah hadiah-hadiah yang mereka berikan kepada para menterinya, dengan maksud agar tujuan serta niat mereka mendapat dukungan.
Ketika telah sampai di Habasyah, mereka segera menemui para menterinya serta menyerahkan hadiah tersebut seraya berkata, “Sungguh telah datang di negerimu orang-orang yang bodoh dari kaum kami yang keluar dari agama nenek moyang, serta memecah-belah persatuan. Maka, kalau kami berbicara kepada raja, dukunglah kami. Karena tokoh-tokoh kaum mereka lebih tahu akan mereka.”
Maka para menteri itu mengatakan, “Ya, kami akan mendukung kalian berdua.”
Setelah itu, masuklah mereka berdua menemui Najasyi dengan membawa hadiah yang banyak dan berkata, “Wahai Raja, sesungguhnya telah datang di dalam kerajaanmu orang-orang yang rendah dari kaum kami. Mereka datang dengan membawa agama yang tidak pernah kami ketahui atau engkau ketahui. Mereka keluar dari agama kami, tidak pula masuk kepada agamamu. Dan orang-orang yang mulia di antara kami telah mengutus kami, agar engkau mau mengembalikan mereka kepada kami dan mereka lebih mengetahui akan apa yang telah mereka perbuat,” maka Najasyi menoleh kepada para menterinya dan berkatalah mereka, “Benar wahai Raja. Sesungguhnya kaum mereka lebih mengetahui tentang mereka. Maka kembalikanlah orang-orang tiu kepada mereka.”
Mendengar hal itu, Raja Najasyi marah, seraya berkata, “Demi Allah, aku tidak akan mengembalikan mereka kepada kaumnya sampai aku menemui mereka. Sehingga aku bisa mengetahui, apakah yang telah dikatakan oleh dua orang ini benar? Kalau memang benar, maka akan aku kembalikan, mereka. Akan tetapi, kalau tidak, aku akan melindungi dan berbuat baik kepada mereka.”
Kemudian Raja Najasyi mengutus orang agar memanggil kami. Sebelum berangkat untuk menemuinya, kami berkumpul dan saling mengatakan, “Sesungguhnya Najasyi akan bertanya kepada kalian tentang agama kalian. Maka terangkanlah dengan apa yang telah kalian imani.” Dan kami bersepakat mengangkat Ja’far sebagai juru bicaranya.
Berangkatlah kami untuk menemuinya. Kami mendapatkan Raja Najasyi tengah duduk di antara para menterinya yang memakai pakaian kebesaran mereka. Kami juga mendapatkan Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah telah ada di hadapan mereka. Ketika semuanya telah siap, Najasyi menoleh kepada kami dan berkata, “Apakah agama yang kalian peluk, sehingga kalian meninggalkan agama kaum kalian dan tidak pula kalian masuk ke dalam agamaku atau agama yang lainnya?”
Maka berkatalah Ja’far bin Abi Thalib, “Wahai Raja, kami dahulu adalah orang-orang jahiliyah. Kami menyembah berhala, memakan bangkai, melaksanakan perbuatan keji, memutus silaturrahim, berbuat jelek kepada tetangga, yang kuat menekan yang lemah dan kami tetap berada dalam keadaan demikian, sampai Allah mengutus kepada kami seorang Rasul yang kami mengetahui nasabnya, kejujurannya, keamanahannya dan sangat memelihara diri. Dia mengajak kami agar beribadah hanya kepada Allah dan meninggalkan patung-patung yang disembah oleh nenek moyang kami. Dia juga memerintahkan kepada kami agar jujur dalam berkata, menunaikan amanah, menyambung silaturrahmi, meninggalkan perbuatan keji, memelihara darah, dan melarang kami dari berkata dusta, memakan harta anak yatim, menuduh wanita yang shalihah dengan perbuatan zina serta memerintahkan kami agar mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan. Maka kami membenarkannya, beriman kepadanya, dan mengikuti apa yang dibawanya dari sisi Allah. Kami menghalalkan apa yang dihalalkannya dan mengharamkan apa yang diharamkannya. Wahai Raja, ketika kaum kami mengetahui tentang apa yang kami lakukan, mereka memusuhi kami, menyiksa kami dengan siksaan yang berat dan berusaha mengembalikan kami kepada agama nenek moyang, dan agar kami kembali menyembah berhala. Maka tatkala mereka terus menekan kami, memaksa kami, akhirnya kami memilih engkau dari yang lainnya dan kami sangat berharap engkau berbuat baik kepada kami dan tidak menzalimi kami.”
Raja Najasyi kembali bertanya kepada Ja’afar, “Apakah engkau memiliki apa yang dibawa oleh Nabimu dari Allah?” Ja’far menjawab, “Ya.” Maka Raja Najasyi memerintahkan, “Bacakanlah untukku!” Ja’far pun membaca surat maryam.
Ketika mendengar ayat tersebut, menangislah Raja Najasyi, sehingga air matanya membasahi jenggotnya. Menangis pula para menterinya, sehingga basah buku-buku mereka. Dan Najasyi berkata, “Sesungguhnya, apa yang dibawa oleh Nabi kalian dan apa yang dibawa oleh Isa bin Maryam merupakan satu sumber.” Najasyi menoleh kepada Amru bin Ash dan berkata, “Pergilah kalian! Demi Allah, mereka tidak akan aku serahkan kepada kalian!”
Ketika kami keluar dari Istana Najasyi, Amru bin Ash mengancam kami dan berkata, “Demi Allah, besok pagi aku akan menemuinya lagi. Akan aku kabarkan dengan satu berita yang bisa membuatnya marah.”
Maka keesokan harinya, mereka kembali menemui Raja Najasyi dan berkata, “Wahai Raja, sesungguhnya orang yang engkau lindungi itu mengatakan tentang Isa, suatu perkataan yang besar!”
Raja Najasyi kembali memanggil kami, hingga kami merasa khawatir dan takut. Sebagian kami bertanya-tanya, “Apa yang akan kita katakan kepadanya tentang Isa bin Maryam?” Akhirnya kami bersepakat untuk mengatakan tentang Isa, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta kembali menunjuk Ja’far sebagai juru bicara. Kemudian kami datang untuk menemui Najasyi. Kami dapatkan Amru bin Ash telah berada di sana bersama temannya.
Bertanyalah Najasyi, “Apa yang kalian katakan tentang Isa bin Maryam?”
Ja’far menjawab, “Kami mengatakan sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Nabi kami.”
Najsyi berkata, “Apa yang dia katakan?”
Ja’far menjawab, “Dia adalah hamba Allah dan Rasul-Nya Ruh-Nya, kalimat-Nya, yang Dia berikan kepada Maryam yang suci.”
Mendengar hal tersebut, Najsyi memukul meja sembari berkata, “Demi Allah, apa yang dikatakannya sesuai dengan keadaan Isa bin Maryam. Pergilah kalian dengan aman. Siapa yang mencela kalian, dia adalah orang yang merugi. Dan siapa yang mengganggu kalian, dia akan disiksa.” Kemudian Najasyi berkata kepada para menterinya, “Kembalikanlah hadiah-hadiah itu kepada dua orang ini, karena aku tidak butuh kepadanya.” Akhirnya keduanya keluar dengan perasaan sedih, karena tidak berhasil melaksanakan apa yang mereka niatkan.
Ja’far bersama istrinya tinggal beberapa saat di Habasyah; bisa merasakan ketenangan serta lindungan dari Najasyi.
Pada tahun ketujuh hijriah, pergilah Ja’far bin Abi Thalib meninggalkan Habasyah untuk menuju ke Yatsrib. Sesampainya di Yatsirb, ia disambut hangat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada waktu itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baru saja kembali dari perang Khaibar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Ja’far dan bersabda, “Sungguh aku tidak tahu, dengan yang mana aku merasa bahagia. Apakah dengan kemenangan Khaibar ataukah dengan kadatanganmu?!”
Selang beberapa lama, ia tinggal di Madinah. Ketika pada awal-awal tahun ke delapan hijriah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkehendak ingin mengirim pasukan untuk memerangi Romawi, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai komandan. Beliau bersabda, “Kalau Zaid terbunuh, maka yang menggantikannya ialah Ja’far bin Abi Thalib. Jika ia terbunuh, maka yang menggantikannya ialah Abdullah bin Rawahah. Dan jika Abdullah terbunuh, maka biarlah kaum muslimin memilih bagi mereka sendiri.”
Kemudian beliau memberikan bendera berwarna putih kepada Zaid bin Hartisah.
Berangkatlah pasukan pasukan ini. Ketika telah sampai di daerah Mu’tah, kaum muslimin mendapatkan orang-orang Romawi telah siap dengan jumlah yang sangat banyak. Yaitu dua ratus ribu tentara. Merupakan jumlah yang sangat besar. Jumlah sebegitu besar tidak pernah ditemui oleh kaum muslimin sebelumnya. Sementara jumlah kaum muslimin hanya tiga ribu orang.
Ketika dua pasukan ini telah berhadapan, peperanganpun mulai berkecamuk, hingga Zaid bin Haritsah gugur sebagai sahid. Begitu melihat Zaid jatuh tersungkur, bergegas Ja’far melompat dan mengambil bendera, dan menyusup ke barisan musuh sambil melantunkan syair:
Wahai… alangkah dekatnya surga
Yang sangat lezat dan dingin minumannya
Romawi yang telah dekat kehancurannya
Wajib bagiku menghancurkannya apabila menemuinya.
Mulailah ia berputar-putar memporak-porandakan barisan musuh sehingga terputus tangan kanannya. Segera ia ambil bendera itu dengan tangan kriinya, kemudian terputus pula tangan kirinya sehingga ia gugur sebagai syahid. Setelah itu, bendera diambil oleh Abdullah bin Rawahah dan terus mempertahankannya dan akhirnya gugur juga sebagai sahid.
Ketika sampai kabar kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentang kematian tiga pahlawannya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat sedih. Diriwayatkan bahwa pada tubuh Ja’far terdapat sembilan puluh sekian luka yang semuanya terdapat di bagian depan tubuhnya.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi menuju rumah Ja’far bin Abi Thalib. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan Asma sudah membuat roti dan memandikan anaknya untuk menyambut kepulangan sang ayah.
Asma menuturkan:
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui kami, aku mendapatkan wajah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat sedih. Maka timbullah perasaan takut pada diriku, akan tetapi aku tidak berani untuk menanyakannya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Suruhlah anak-anak Ja’far kemari. Aku akan mendoakannya,” maka bergegaslah mereka mendekat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bercengkerama dengan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merangkul mereka, mencium, serta berlinang air matanya. Maka aku berkata, “Wahai Rasulullah , apa yang menjadikan engkau menangis? Apakah ada sesuatu yang menimpa Ja’far?”
Beliau menjawab, “Ya, dia telah gugur sebagai syahid pada hari ini.” Sesaat hilanglah keceriaan yang terdapat pada wajah-wajah mereka, tatkala mendengar tangisan ibunya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku melihat Ja’far sebagai Malaikat di surga dan bahunya bercucuran darah dan ia terbang di surga.”
Inilah perjuangan Ja’far bin Abi Thalib. Dia memberikan semua yang dimilikinya untuk Allah dan Rasul-Nya. Semoga Allah meridhai Ja’far bin Abi Thalib dan menjadikan surga sebagai tempat kembali baginya. (Adi Abdul Jabbar dan Abu Unais)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar